Macet adalah permasalahan klasik dan PR pemerintah DKI Jakarta yang belum terselesaikan. Telah banyak wacana yang dimajukan dalam rangka memerangi kemacetan ini, misalnya dengan penambahan flyover atau penggalakan penggunaan kendaraan umum. Terlepas dari berjalan atau tidaknya program program tersebut, kemacetan tetap betah tinggal di jakarta. Pemerintah seakan kehabisan ide, program apalagi yang harus dijalankan?
Sebenarnya paling tidak ada 1 lagi yg dapat dijalankan tanpa perlu pembangunan infrastruktur baru: penegakan peraturan lalu lintas. Coba perhatikan, berapa titik kemacetan di jakarta yang disebabkan oleh tidak dijalankannya peraturan lalu lintas. Saya perhatikan perilaku ngetem sembarangan dari angkutan umum adalah salah satu penyumbang kemacetan yang cukup signifikan. Kemudian juga banyak titik kemacetan yang diakibatkan suatu perempatan jalan mengunci, yang penguncian ini diakibatkan banyaknya kendaraan yang menerobos lampu merah. Kemudian parkir di pinggir jalan, dari yang benar-benar melanggar seperti tepat di bawah rambu P coret, sampai ke tempat-tempat yang membolehkan parkir namun ternyata parkiran sampai berlapis-lapis dan menghabiskan hampir seluruh badan jalan. Kesemua tingkah laku ini melanggar peraturan dan hukum lalu lintas, namun amat sangat jarang sekali, menurut pengamatan saya, ditegakkan akhir-akhir ini. Walhasil keberadaan penegak hukum c.q. negara di jalan raya hampir tidak ada. Meminjam istilah yang sering muncul di media belakangan ini, hukum di jalan raya berjalan dengan Auto Pilot.
Kita ambil contoh, misalnya dari jalan Ahmad Yani, flyover dari arah tanjung priok menuju Rawamangun, di atas perempatan jalan Perintis Kemerdekaan. Tepat di ujung flyover, banyak berderet tanda dilarang parkir maupun dilarang stop. Tidak jauh dari situ terdapat pula pintu masuk tol dalam kota, yang di sebelah kanannya ada jalur busway dan tempat memutar. Betapa sebenarnya amat penting bahwa kendaraan tidak stop bahkan berhenti di tempat yang ada larangannya tersebut. Akan tetapi ternyata sudah sekian tahun lamanya tempat tersebut menjadi terminal tidak resmi bus-bus, yang seringkali menutupi jalan dari arus kendaraan yang baru turun dari flyover. Sehingga, terutama pada jam sibuk kemacetan mengular ke belakang. Ada gula ada semut, daerah trotoar sekitar terminal tidak resmi tersebut sekarang dipenuhi warung semi permanen, sehingga pejalan kaki pun tidak bisa berjalan di atas trotoar. Kemana para penegak hukum? Tidak tahu sehingga tidak ditindak? Memang sih, kalau sore jam sibuk biasanya ada 1 atau 2 polisi yang menjaga agar bus tidak berhenti di tempat tersebut. Namun seringkali pula bus-bus nakal berhenti setelah melewati polisi yang berjaga tersebut. Sadar atau tidak ini adalah bentuk pelecehan terhadap perangkat negara. Tidak adanya tindakan dari perangkat negara tersebut sebagai reaksi dari pelecehan, makin merendahkan martabat para perangkat negara tersebut. Apalagi kalau ternyata bisa “damai”.
Tentu ini bukan satu-satunya titik kemacetan di Jakarta. Banyak tempat lain, yang permasalahannya kira-kira sama. Bayangkan kalau seluruh pemakai jalan, baik itu yang di jalanan aspal dan yang di trotoar tunduk pada peraturan lalu lintas. Tanpa ada penambahan infrastruktur sekalipun sepertinya akan terasa perbedaannya.
Pertanyaannya, kenapa saya belum dengar ada calon Gubernur yang “menjual” wacana ini?