Tentu kita semua yang tinggal di Jakarta pernah mengunjungi gedung bertingkat, apakah itu hotel, perkantoran, atau ke mal. Untuk naik ketingkat atas, biasanya terdapat 3 pilihan: escalator, lift, atau tangga darurat. Yang paling laku tentu escalator atau lift.
Untuk naik ke tingkat yang agak jauh (beda lebih dari 1 tingkat) biasanya orang lebih mengidolakan lift daripada escalator. Hal ini dikarenakan bila menggunakan escalator, orang masih harus berjalan sedikit di lantai “ transit” untuk menuju ke escalator “sambungan”. Sehingga di gedung yang tingkatnya cukup banyak, sering kita dapati kerumunan antrian menyemut di depan pintu lift, terutama di mal, di hari sabtu atau minggu.
Bila anda berada di dalam lift, keluar dari lift adalah suatu perjuangan, karena orang-orang yang menyemut di depan lift akan berlomba-lomba berdiri paling dekat pintu lift, dengan berusaha menghalangi orang yang berada di belakangnya agar tidak mendahului mereka masuk ke lift. Demikian pula dengan orang yang ada di belakangnya. Bila akhirnya bisa keluar, biasanya ruang yang tersedia adalah celah yang cukup muat untuk 1 orang. Bila kita membawa anak kecil yang masih di kereta, atau mungkin berada di kursi roda, maka celah ini memang agak sulit dilalui karena para pemberi celah biasanya enggan untuk memberikan celah yang lebih besar, karena takut diserobot orang di belakangnya.
Bila anda berada pada kerumunan yang mau masuk ke dalam lift, masuk ke dalam lift adalah perjuangan. Kalau tidak ingin diserobot, anda harus menutup jalan para penyerobot, memperkecil ruang bagi mereka untuk “menyelip”, merangsek ke depan pintu lift. Salah satu cara yang paling efektif, bak penjaga gawang adalah memperkecil dan menutupi ruang gerak mereka. Karena badan kita tidak dapat menutupi daerah yang luas, maka konsekuensi logisnya adalah menutup ruang seefisien dan seefektif mungkin, yaitu berdiri amat sangat dekat sekali dengan pintu lift. Sebagaimana kita lihat di atas, cara ini sebenarnya merugikan bagi orang yang ingin keluar dari lift. Agar tidak mengganggu orang yang mau keluar dari lift tersebut, sebenarnya ada cara lain. Berdirilah pada jarak yang nyaman dari lift, yang tidak menghalangi orang yang mau keluar. BIla ada yang ingin menyerobot antrian, kita harus tegas menegur dengan mulut, atau kalau perlu dengan tangan dan kaki. Karena orang Indonesia lebih suka menghindari konflik, maka cara menutup pintu lift adalah yang paling sering dipraktekkan.
Perlu diketahui, bahwa para pengantri lift yang ingin masuk juga sama sekali tidak memperhatikan keadaan para pengantri lain. Tidak peduli apakah ada pengguna lift lain yang sudah tua, atau yang membawa kereta bayi atau kursi roda, mereka tidak akan memberikan prioritas pada orang-orang ini. Padahal orang-orang ini memang keadaannya mengharuskan mereka untuk menggunakan lift. Akhirnya karena tidak tahan diserobot terus, sering ditemui para orang tua dengan kereta bayinya menggunakan escalator. Sungguh ironis, karena seharusnya yang menggunakan eskalator adalah orang-orang yang memenuhi lift tadi, yang sebenarnya tidak terlalu perlu harus pakai lift. Tidak ada kerugian berarti bagi mereka, jika saja mereka menggunakan eskalator, hanya mungkin bedanya mereka harus berjalan beberapa langkah untuk mencapai eskalator ke lantai berikutnya. Kenyamanan mereka naik lift dibayar dengan resiko yang diambil pembawa kereta dorong dan kursi roda dengan naik eskalator. Di beberapa negara hal ini tidak akan dibiarkan pengelola mal. Namun demikian, beberapa pengelola mal di Jakarta akan mencoba memprioritaskan orang-orang ini, walau pemandangan kereta naik eskalator tetap saja terjadi.
Jadi, bila anda di Jakarta, jangan harap para calon pengguna lift antri dengan tertib, menyadari kapan giliran masuk mereka, tanpa harus kuatir diserobot. Jangan berharap orang yang di dalam lift didahulukan untuk keluar. Tidak usah berharap bisa keluar dari lift dengan leluasa tanpa rintangan yang berarti. Jangan pula berharap bahwa kursi roda, orang tua dengan anak2, orang tua dengan kereta anak, dan orang yang sudah tua akan diperhatikan prioritasnya Hal demikian hanya ditemui di tempat yang orangnya mengerti dan meresapi maksud dan tujuan dari adab mengantri. Dan Jakarta bukanlah tempat semacam itu. Demikian pula beberapa kota lain yang memiliki etiket serupa di berbagai negara.
Read Full Post »