Syahdan, di suatu daerah tempat tinggal seorang kenalan, masalah demi masalah yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat sedikit demi sedikit bermunculan. Dimulai dari kemakmuran yang meningkat. Saat ini, yang dulu belum punya kendaraan, udah punya motor. Yang belum punya mobil, sekarang punya. Yang udah punya 1, punya 2. Yang udah punya dua, punya 3, dst.
Permasalahan muncul saat ruang di dalam rumah dirasa kurang memadai. Dari yang memang tidak bisa menampung kendaraan-kendaraan itu, sampai yang butuh ruang lebih untuk ngutakngatik atau mencuci mobilnya di halaman rumah. Walhasil, parkirlah para kendaraan roda empat itu di jalan. Jalan yang hanya cukup untuk dilewat 2 mobil berpapasan itu (dengan hati2 dan pelan2), juga dipenuhi mobil-mobil tamu, baik tamu rumah tangga atau tamu bisnis yang mulai juga bermunculan di daerah itu. Awalnya parkir di pinggir jalan ini tidak terlalu mengganggu. Namun lama kelamaan posisi parkirnya mulai tidak lagi memperhatikan kepentingan pemakai jalan lainnya. Misalnya:
1. parkir di seberang pintu pagar orang (bukan di depannya persis). Memang tidak menutupi pintu pagar, namun amat menyulitkan bagi pemilik rumah untuk memasukkan atau mengeluarkan kendaraannya karena sempitnya jalan. Apalagi jika mobilnya jenis MPV. Apalagi kalau yang diparkir di seberang pintu masuknya juga MPV.
2. Parkir tepat di samping mulut gang. Memang tidak menghalangi mobil yang lewat di jalan tersebut. Namun amat menyulitkan yang mau keluar dari gang tersebut.
3. Parkir di kedua sisi jalan. Ini hanya menyisakan ruang sempit nan nge-pas bagi kendaraan selebar sedan biasa untuk lewat dengan spion ditekuk. MPV, sedan besar, kelaut aja.
4. dst.
Apa yang dilakukan warga yang dirugikan? masyarakat Indonesia itu jauh dari sederhana. Rumit malah. Di satu pihak masih tertanam nilai-nilai tenggang rasa yang ditanam (paksa) kan oleh pelajaran PMP atau budi pekerti pada masa lalu, sehingga timbul rasa tidak enak untuk menegur para pemarkir yang tak bertanggungjawab tersebut. Apalagi bila yang seharusnya menegur umurnya lebih muda. Sehingga menegur langsung amatlah tabu. Belum lagi nanti jadi omongan tetangga. Di lain pihak, para pemarkir juga tetap memarkir sembarangan saja, yang penting ada tempat, peduli setan dengan pemakai jalan yang lain. Apa daya? Para pemilik rumah yang terganggu memasang pot bunga, sampai menaikkan sisi jalan di depan rumah mereka sedemikian tinggi hingga tidak dapat difungsikan sebagai tempat parkir. Cara ini enak, ga perlu negur, aman tentram tanpa konfrontasi.
Tanpa konfrontasi? belum tentu. Beberapa orang yang biasa parkir sembarangan tersebut lapor sama ketua RT. Tapi ketua RT kan bukan polisi yang punya kewenangan memaksa, sehingga ya kasus kemudian dipetieskan. Walhasil, kecuali untuk orang-orang yang hiper sableng, parkir yang mengganggu lumayan menjadi berkurang, walau tidak hilang sepenuhnya. Bagian jalan yang sudah diberi pot bunga tadi pun terkadang masih dijadikan tempat parkir, di depan pot bunganya. Makin sempitlah jalan yang seharusnya bisa dilewati dengan nyaman tersebut. Namun ada kemajuan dari daerah itu yang saya acungi jempol. Kemudian warga berinisiatif menjadikan lahan kosong yang terdapat di daerah itu sebagai tempat parkir mobil daerah itu. Walau demikian tetap masih saya lihat mobil parkir sembarangan, walau memang agak berkurang.
Pada akhirnya gimana? ya gitu,.. khas penyelesaian masalah dengan cara “kekeluargaan”, — dipendam, diendapkan nunggu pecah —. Status quo seperti pada keadaan di atas. Alternatif parkir ada, tapi tetep banyak parkir pinggir jalan karena malas jalan 200-an meter. Mobil yang diparkir dipinggir jalan masih tetap mengurangi kenyamanan pemakai jalan. Apa yang akan terjadi?